Bismillaah
Ini ialah hasil bimbingan PKL yang pertama
dengan dosen yang pertama, hhe. Pada saat itu bapaknya menjelaskan bagaimana
Islam telah mengajarkan keilmiahan. Kok bisa? Iya bisa :P
Biasa memerhatikan ga kenapa hadist
itu buntutnya panjang banget kayak gelar? #eh. Sampai kita mungkin
agak males untuk membacanya karena sitasi atau jalur periwayatannya yang
panjang banget. Buntut itu namanya sanad hadits, sanad itu jalur
periwayatan. Contoh sanad: dari si A, dari si B, dari si C, dst. Hadits
yang bisa dijadikan landasan ialah hadits yang shahih (benar), ya ga
Guys? J Hadits yang tidak sampai ke Rasulullaah, hadits
karangan(maudhu’), atau sanadnya lemah(dhaif) maka hadits itu tidak dapat
dijadikan sebagai referensi.
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja,
maka silakan dia ambil tempat duduknya di neraka.” HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 3
Nah lhoh, ga mau kan
disuruh mengambil tempat duduknya di neraka? Hhe. So, ambil hadits yang
pasti-pasti aja J Pasti bener.
Eh btw mengenai hadits
Dhaif, ini ada beberapa rincian syarat bagaimana saja hadits Dhaif bisa
dipakai.
Syaikh
Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Sedangkan hadits dho’if
diperselisihkan oleh para ulama -rahimahumullah-. Ada yang membolehkan untuk
disebarluaskan dan dinukil, namun mereka memberikan tiga syarat dalam masalah
ini,
[Syarat
pertama] Hadits tersebut tidaklah terlalu dho’if
(tidak terlalu lemah).
[Syarat
kedua] Hadits tersebut didukung oleh dalil lain yang shahih yang
menjelaskan adanya pahala dan hukuman.
[Syarat
ketiga] Tidak boleh diyakini bahwa hadits
tersebut dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits
tersebut haruslah disampaikan dengan lafazh tidak jazim (yaitu tidak tegas).
Hadits tersebut hanya digunakan dalam masalah at targhib untuk memotivasi dan
at tarhib untuk menakut-nakuti.”
Yang dimaksudkan tidak boleh menggunakan lafazh jazim
adalah tidak boleh menggunakan kata “qola Rasulullah” (رَسُوْل اللهِ قَالَ),
yaitu Rasulullah bersabda. Namun kalau hadits dho’if tersebut ingin
disebarluaskan maka harus menggunakan lafazh “ruwiya ‘an rosulillah”
(ada yang meriwayatkan dari Rasulullah) atau lafazh “dzukiro ‘anhu” (ada
yang menyebutkan dari Rasulullah), atau ”qiila”, atau semacam itu.
Jadi
intinya, tidaklah boleh menggunakan lafazh “Qola Rosulullah” (Rasulullah
bersabda) tatkala menyebutkan hadits dho’if.
Kyaaaa
:D ini malah kita bahas hadits Dhaif ya? Haha. Back to topic.
Ketika hal ini dianalogikan maka seperti
kalau kita menulis karya ilmiah, maka perlu ada referensi,
sitasi, atau daftar pustaka. Sebuah data yang valid perlu ada asal/
sumber data itu diambil, kita tidak bisa mengambil data secara
sembarangan. Karna itu sebagai wujud tanggungjawab ilmiah pada
orang-orang yang membaca karya tulis kita. Ya ga? Dan so pasti dalam
membuat karya yang ilmiah tidak mungkin kita mengabaikan sumber data(referensi,
sitasi, atau daftar pustaka), karna karya yang kuat atau sarat
keilmiahan atau sarat makna ialah karya yang dibuat dengan data-data penunjang.
Jadi, sudah jelaskan ternyata Rasulullaah pun mengajarkan pada kita untuk ilmiah, dari sumber-sumer yang kita pakai dalam menjalani hidup ini. Dan hal itu terefleksi dalam karya ilmiah yang memerlukan referensi, sitasi, atau daftar pustaka yang valid agar karya itu lebih sarat keilmiahannya.
Referensi:
http://rumaysho.com/faedah-ilmu/bolehkah-menggunakan-hadits-maudhu-dan-hadits-dhoif-566
0 komentar:
Post a Comment
Assalaamu'alaykum.. Teman-teman yang mengenal saya atau pun tidak, silakan memberikan komentar teman-teman mengenai blog ini. Demi perbaikan saya, ok? :)
Syukron wa jazakumullahu khoiron